BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kehidupan kita sekarang ini sudah sangat jauh
dari hukum-hukum alam, yang digantikan oleh hukum-hukum buatan manusia sendiri
yang sangat egoistis dan mengandung nilai hedonis yang sangat besar, sehingga
kita pun merasakan betapa banyaknya bencana yang melanda diri kita. Etika
hubungan kita yang humanis dengan tiga kompenen relasional hidup kita sudah
terabaikan begitu jauh, jadi jangan harap hidup kita di masa mendatang akan
tetap lestari dan berlangsung harmonis dengan alam.
Positivisme merupakan paradigma ilmu
pengetahuan yang paling awal muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. Keyakinan
dasar aliran ini berakar dari paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa
realitas ada (exsit) dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum
alam (natural laws). Upaya penelitian, dalam hal ini adalah untuk
mengungkapkan kebenaran realitas yang ada, dan bagaimana realitas tersebut
senyatanya berjalan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian
Positivisme
Positivisme adalah salah satu aliran
filsafat modern yang berpangkal dari fakta yang positif, sesuatu yang di luar
fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam pembicaraan filsafat dan ilmu
pengetahuan. Filsafat positivisme lahir pada abad ke-19 dimotori oleh sosiolog Auguste
Comte.[1]
.
B.Tokoh-Tokoh
Filsafat Positivisme
a). Auguste Comte ( 1798 – 1857 )
Ia adalah orang yang menokohi
munculnya aliran positivisme. Ia lahir di Hontpeller, Perancis. Sebuah karya
penting “ Cours de Philisophia Positivie “ (Kursur tentang filsafat positif),
ini berjasa dalam mencipta ilmu sosiologi. Ia berpendapat bahwa indera itu amat
penting dalam memperoieh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu
dan diperkuat dengan experiment. Kekeliruan indera akan dapat dikoreksi lewat experiment-experiment
memerlukan ukuran yang jelas. Panas diukur dengan derajat panas, jauh diukur
dengan meteran, berat dengan kiloan, dsb. Kita tidak cukup mengatakan api
panas, matahari panas, kopi panas. Ketika panas kita memerlukan ukuran yang
teliti. Dari sinilah kemajuan sains benar-benar dimulai.
Jadi pada dasarnya positifisme
bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. Ia hanya menyempurnakan
empirisme dan rasionalisme yang bekerja sama. Dengan kata lain, ia
menyempurnakan metode ilmiah dengan memasukkan experiment dan ukuran-ukuran.
Jadi, pada dasarnya positifisame itu sama dengan empirisme plot rasionalisme.
Hanya saja, pada empirisme menerima pengalaman batiniyah, sedangkan pada
positivisme membatasi pada perjalanan objektif saja.
b). H. Taine ( 1828 – 1893 )
Ia mendasarkan diri pada positivisme
dan ilmu jiwa, sejarah, politik, dan kesastraan.
c). Emile Durkheim ( 1852 – 1917 )
Ia menganggap positivisme sebagai
asas sosiologi. Ia adalah seorang sosiolog prancis.
d). John Stuart Mill ( 1806 – 1873 )
Ia adalah seorang filosof Inggris
yang menggunakan system positivisme pada ilmu jiwa, logika, dan kesusilaan. Ia
memodifikasi dan mengembangkan pemikiran Comte dalam yang cukup monumental
berjudul A System Of Logic.
C.Tahapan-Tahapan
pada Positivisme
Menurut Auguste Comte, perkembangan
pikiran manusia baik perorangan maupun bangsa melalui 3 tahapan, yaitu:
a). Tahap
Teologis
Tahap dimana manusia percaya bahwa
di belakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrasi yang mengatur fungsi
dan gerak gejala-gejala tersebut.
Tahap Teologis ini dibagi menjadi 3
periode :
1. periode di mana benda-benda dianggap berjiwa
(Animisme)
2. Periode di mana manusia
percaya pada dewa-dewa (Politeisme)
3.Periode ketiga manusia percaya
pada satu Alloh sebagai Yang Maha Kuasa
(Monoteisme).
b). Tahap
Metafisis
Hendak menerangkan
segala sesuatu melalui abstraksi. Pada tahap ini manusia hanya sebagai tujuan
pergeseran dari tahap teologis. Sifat yang khas adalah kekuatan yang terjadi
bersifat adikodrasi, diganti dengan kekuatan-kekuatan yang mempunyai pengertian
abstrak yang diintrogasikan dengan alam.
c). Tahap
Ilmiah / Positif
Yaitu ketika orang
tidaklagi berusaha mencapai pengetahuan yang mutlak baik teologis maupun
metafisis. Sekarang orang berusaha mendapatkan hukum-hukum dari fakta-fakta
yang didapati dari pengamatan dan akalnya. Tujuan tertinggi dari zaman ini akan
tercapai bilamana gejala-gejala telah dapat disusun dan diatur di baeah satu
fakta yang umum saja.
Hukum 3 tahap ini
tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga
berlaku bagi tahap perorangan. Umpamanya sebagai kanak-kanak adalah teologi,
sebagai pemuda menjadi metafisis, dan sebagai seorang dewasa adalah seorang
fisikus.
Urutan perkembangan ilmu-ilmu
pengetahuan tersusun sedemikian rupa, sehingga yang satu selalu mengandalkan
semua ilmu yang mendahuluinya. Dengan demikian Comte menemoatkan deretan ilmu
pengetahuan dengan urutan sebagai berikut : ilmu pasti, astronomi, fisika,
bioligi, dan sosiologi.
Auguste Comte
berkayakinan bahwa pengetahuan manusia melewati tiga tahapan sejarah, yaitu:
1. Tahapan Agama dan Ketuhanan
Pada tahapan ini
untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi hanya berpegang kepada
kehendak Tuhan.
2. Tahapan Filsafat
Menjelaskan
fenomena-fenomena dengan pemahaman-pemahaman metafisika seperti kausalitas,
substansi dan aksiolen, esensi dan akstensi.
3. Positifisme
Menafikan semua
bentuk tafsir agama dan tinjauan filsafat serta hanya mengedepankan metode
empiris dalam menyingkap fenomena-fenomena.
Positivisme sangatlah
dekat dengan empirisme, yakni paham yang berpendapat bahwa sumber utama
pengetahuan manusia adalah pengalaman indrawi. Artinya manusia tidak bisa
mengetahui sesuatu apapun, jika ia tidak mengalaminya terlebih dahulu secara
indrawi.
Yang menjadi cirri
khas positivism adalah, peran penting metodologi di dalam mencapai pengetahuan.
Di dalam positivism, valid tidaknya suatu pengetahuan dilihat dari validitas
metodenya.
Dengan
demikian, pengetahuan manusia, dan juga mungkin kebenaran itu sendiri, diganti
posisinya oleh metodologi yang berbasiskan data yang juga di klaim obyektif
murni dan universal. Dan, satu-satunya metodologi yang diakui oleh para pemikir
positivism adalah metode ilmu-ilmu alam yang mengklaim mampu mencapai
obyektifitas murni dan bersifat universal. Metode-metode lain di luar metode
ilmu-ilmu alam inipun dianggap tidak memadai.
BAB III
KESIMPULAN
Pada hakikatnya Positifisme adalah salah satu aliran filsafat modern yang berpangkal dari
fakta yang positif.
Di negeri Perancis, telah muncul aliran baru,
yaitu "positivisme", yang ditikohi oleh Auguste Comte (1798 –
1857). Menurut Comte, jiwa dan budi
adalah basis dari teraturnya masyarakat. Maka, jiwa dan budi haruslah mendapatkan
pendidikan yang cukup dan matang. Dikatakan bahwa sekarang ini sudah masanya
harus hidup dengan pengabdian ilmu yang positif, yaitu: matematika, fisika,
biologi, dan ilmu kemasyarakatan. Adapun yang tidak positif tidak dapat kita
alami, dan sebaliknya orang bersikap tidak tahu menahu.
Adapun budi itu mengalami tiga tingkatan.
Tingkatan pertama adalah tingkatan teologi, yang menerangkan segala sesuatu
dengan pengaruh-pengaruh dan sebab-sebab yang melebihi kodrat; tingkatan kedua
adalah tingkatan metafisika, yang hendak menerangkan segala sesuatu melalui
abstraksi; tingkatan ketiga adalah tingkatan positif, yang hanya memperhatikan
yang sungguh-sungguh serta sebab yang sudah ditentukan.
Tokoh-tokoh dalam positivisme antara lain
adalah Augustu Comte (1798 – 1857),berpendapat bahwa indra itu amat penting
dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan
diperkuat dengan experiment. H.Taine (1828 – 1893), yang mendasarkan diri pada
positivisme dan ilmu jiwa, sejarah, politik dan kesastraan. Emile Durkheim
(1858 – 1917), yang mengaggap positivisme sebagai asas sosiologi. John Stuart
Mill (1806 – 1873), seorang filosof
Inggris yang menggunakan system positivisme pada ilmu jiwa, logika, dan
kesusilaan.
DAFTAR PUSTAKA
Kattsoff, Louis O. 2004.Pengantar Filsafat. Yoyakarta: Tiara
Wacana Yogya
Muslih, Mohamman. 2005. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Belukar
http://www.google.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar