AKHLAK VS TASAWUF " ITTIHAD"
BAB I
PENDAHULUAN
Ittihad
merupakan tingkatan bagi seorang sufi setelah merasa dirinya bersatu dengan
Tuhan. Ittihad dipandang sebagai ajaran doktrinal karena memadukan
eksistensi dua wujud yang terpisah (wahdah al-wujud). Hal ini bertentangan
dengan konsep Kesatuan Wujud (wahdah al-wujud). Jika dipahami sebagai
“kesatuan”, ittihad digunakan dalam arti bahwa segala sesuatu sesungguhnya
tiada dan eksistensi adalah kepunyaan Allah. Kata ini juga mengacu pada
pengalaman kesatuan dengan Allah.
Doktrin ittihad
ini merupakan salah satu dari beberapa ajaran sufi terpenting, terutama yang
bersumber dari Abu Yazid al-Bustami. Tak hanya ittihad, fana dan baqa juga
merupakan beberapa ajaran sufi terpenting. Antara ketiganya mempunyai hubungan
yang erat, yakni penyatuan batin atau rohaniah dengan Tuhan, karena tujuan dari
fana dan baqa itu adalah ittihad. Sehingga tidak hanya fana dan baqa yang
penting bagi seorang sufi, ittihad pun juga demikian karena dengan ittihadlah
seseorang tersebut bisa mencapai penyatuan dengan Tuhan.
Ittihad juga
dianggap sebagai faham yang bertentangan dengan Islam, sehingga tidak banyak
yang membicarakannya. Walaupun begitu ittihad adalah suatu tingkatan yang
mengantarkan seorang sufi untuk menyatu dengan Tuhannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Itihad
Ittihad
adalah bahwa tingkatakan tasawuf seorang sufi telah merasa dirinya bersatu
dengan Tuhan. Ittihad merupakan suatu tingkatan dimana yang mencintakan
dan yang dicintai telah menjadi satu. R Al-Badawi berpendapat bahwa di dalam
ittihad yang dilihat hanya satu wujud.
B. Doktrin Tasawuf tentang Ittihad
Apabila seorang sufi telah berada dalam
keadaan fana atau hilangnya kesadaran dirinya sebagai manusia, maka pada saat
itulah ia telah menyatu dengan Tuhan, sehingga wujudiyahnya kekal atau al-baqa.
Doktrin sendiri bermakna ajaran (asa aliran
politik, keagamaan, dsb.) secara bersistem, dalam penyusunan kebijakan negara.
Untuk tasawuf berarti suatu kehidupan rohani yang merupakan fitrah
manusia dengan tujuan untuk mencapai hakikat yang tinggi, berada dekat atau
sedekat mungkin dengan Allah dengan jalan mensucikan jiwanya, dengan melepaskan
jiwanya dari kungkungan jasadnya yang menyadarkan hanya pada kehidupan
kebendaan, disamping juga melepaskan jiwanya dari noda-noda sifat dan perbuatan
yang tercela. Sedangkan Ittihad adalah salah satu tingkatan dimana
seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, salah satu tingkatan
dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu. Sehingga
makna doktrin tasawuf tentang ittihad berarti suatu aliran yang dialami
seseorang untuk mencapai hakikat yang tinggi, berada dekat hingga sedekat
mungkin dengan Tuhan, sehingga dia telah merasa dirinya itu telah bersatu
dengan Tuhannya.
Dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud,
yaitu pertukaran antara yang mencintai dan dicintai (antara sufi dan Tuhan).
Walaupun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Hal
ini terjadi karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud. Sehingga akan
terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai dan dicintai. Selain itu,
dalam ittihad seorang sufi merasakan bahwa identitas telah hilang dan telah
menjadi satu yang disebabkan karena ke-fana’-annya dan tidak sadar lagi
berbicara dengan nama Tuhan.
Maka dari situlah tidak mengherankan jika
antara sufi dan Tuhan memanggil dengan kata-kata “Hai Aku”. Dalam teks Arabnya
kata-kata tersebut berbunyi:
فيقول الواحد للاخر يا ا نا
Maka yang satu kepada yang lainnya mengatakan “aku”.
Dengan demikian jika seorang sufi mengatakan
misalnya mahasuci aku, maka yang dimaksud aku di situ bukanlah sufi itu
sendiri, tetapi sufi yang telah bersatu batin dan rohaninya dengan Tuhan,
melalui fana dan baqa.
Faham ittihad ini bagi orang yang bersikap
toleran, dipandang sebagai penyelewengan (inhiraf), tetapi bagi orang yang
keras berpegang teguh pada agama, itu dipandang sebagai kekufuran. Karena
itulah ittihad ini berada dalam lapangan yang kurang terang. Para ulama syariat
Islam bahkan memandang ittihad itu bertentangan dengan islam.
Masalah ittihad, hulul, dan tauhid memang
tidak banyak dibicarakan, ini karena pembunuhan tokoh sufi yaitu al-Hallaj yang
dituduh mempunyai paham “Hulul”. Sehingga banyak tokoh sufi yang takut
mempersoalkan tersebut, agar tidak mempunyai nasib yang sama.
C. Tokoh Ittihad
Salah satu tokoh yang menyebarkan dan membawa
ajaran ittihad ini adalah Abu Yazid al-Bustami. Beliau dilahirkan
di Bistam Persia pada tahun 874 M, dan meninggal dalam usia 73 tahun.
Nama kecilnya adalah Thaifur. Ibunya seorang zahid dan Abu Yazid amat patuh
padanya. Walaupun orang tuanya adalah salah satu pemuka agama di Bistam, akan
tetapi Abu Yazid hidup dalam kesederhanaan dan menaruh kasih sayang pada fakir
miskin. Abu Yazid jarang keluar dari Bistam dan ketika dikatakan kepadanya
bahwa orang yang mencari hakekat selalu berpindah dari satu tempat ke tempat
yang lain, ia menjawab: “Temanku ( yang dimaksud adalah Tuhan) tidak pernah
bepergian dan oleh karena itu akupun tidak bergerak dari sini”. Sebagian besar
waktunya ia pergunakan untuk beribadah dan memuja Tuhan. Dia senantiasa ingin
dekat kepada Tuhan, yang dimulai dengan timbulnya paham fana dan baqa dalam
tasawuf. Ia memberi jalan bagaimana supaya dapat dekat di hadirat Tuhan. Dia
menjelaskan, suatu malam ia bermimpi dengan berkata:
Artinya:
“Tuhanku, apa jalannya untuk sampai kepada Mu? Dia
menjawab: Tinggalkan dirimu dan datanglah”.
Abu Yazid setelah mengetahui proses pendekatan diri
kepada Allah, melalui fana ia meninggalkan dirinya ke hadirat Tuhan. Keberadaan
ia dapat dilihat apa berada dekat atau belum pada Tuhan melalui “SYATAHAT” yang
diucapkan. Adapun Syatahat adalah ucapan-ucapan yang dikeluarkan oleh seorang
sufi pada permukaan ia berada di pintu gerbang ittihad, seperti ucapan dia:
Artinya:
“Aku tidak heran melihat cintaku pada Mu karena aku
hanyalah hamba yang hina, tetapi aku heran melihat cinta Mu padaku karena
Engkau adalah Raja Mahakuasa”.
BAB III
KESIMPULAN
Menurut Abu
Yazid al-Bustami terdapat beberapa ajaran sufi yang erpenting yaitu fana, baqa,
dan ittihad. Ketika seorang sufi berada dalam keadaan fana atau hilangnya
kesadaran dirinya sebagai manusia, maka pada saat itulah ia telah menyatu
dengan Tuhan, sehingga wujudiyahnya kekal atau al-baqa. Antara fana, baqa, dan
ittihad itu saling berhubungan, yakni penyatuan batin atau rohaniah dengan
Tuhan, karena tujuan dari fana dan baqa itu adalah ittihad. Sehingga tidak
hanya fana dan baqa yang penting bagi seorang sufi, ittihad pun juga demikian
karena dengan ittihadlah seseorang tersebut bisa mencapai penyatuan dengan Tuhan.
Berbeda dengan
fana dan baqa yang begitu banyak tokoh sufi yang membicarakannya, ittihad
dianggap sebagai faham yang bertentangan dengan islam sehingga tidak begitu
banyak tokoh sufi yang membicarakannya. Walaupun demikian masih terdapat tokoh
sufi yang dikenal sebagai penyebar dan pembawa ajaran ittihad yaitu Abu
Yazid al-Bustami.
Daftar Pustaka
Tulaeka,
Hamzah, dkk. 2011. Akhlak Tasawuf. Surabaya: Sunan ampel press.
Mustofa,
Ahmad. 1995. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Pustaka Setia.
Rivay Siregar,
Ahmah. 2002. Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-sufisme. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Nata, Abuddin.
1996. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Armstrong,
Amatullah. 1996. Kunci memasuki dunia tasawuf. Bandung: Mizan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar